Jingle Desa Lemahireng Anti Korupsi
Jingle ini diciptakan sebagai kampanye positif untuk membangun budaya anti-korupsi di Desa Lemahireng. Dengan nada yang ceria, mudah diingat, dan penuh semangat, jingle ini mengajak seluruh warga untuk bersatu padu menjaga integritas dan transparansi dalam setiap aspek kehidupan desa. Liriknya menggambarkan harapan dan komitmen masyarakat Desa Lemahireng untuk bebas dari tindakan korupsi, baik dalam pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari.
Jingle ini dirancang agar sederhana namun kuat, sehingga bisa dinyanyikan oleh siapa saja—mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Musiknya bernuansa tradisional dengan alat musik khas daerah, berpadu dengan ritme modern untuk menciptakan kesan yang segar dan relevan.

Smart Village
Desa Lemahireng
Adat Istiadat Desa Lemahireng








Aftermovie Sedekah Dusun Krajan
Menilik Kebermanfaatan Sedekah Dusun di Desa Lemahireng dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Adat dan agama merupakan dua aspek yang saling terikat dalam kehidupan
manusia, terutama dalam membentuk pola pikir serta perilaku sosial masyarakat.
Meskipun dalam praktiknya, ajaran adat dan agama kerap bertentangan, namun tak
jarang masyarakat melakukan penyesuaian dan adaptasi untuk menyelaraskan salah
satu aspek dengan aspek lainnya. Hasil penyesuaian itulah yang kemudian membuat
banyak ritual adat mengandung unsur religius, pun sebaliknya, praktik agama juga
kerap kali melibatkan elemen budaya lokal. Tradisi Sedekah Dusun menjadi
representasi dari perpaduan aspek adat dan agama yang sampai saat ini masih kita
temukan, salah satunya di Desa Lemahireng, Kecamatan Bawen, Kabupaten
Semarang.
Tradisi Sedekah Dusun atau yang sering dikenal dengan istilah Kadeso atau
Kahdeso. Kata Kadeso berasal dari kata Ka atau Kah yang diambil dari kata “sedekah”
dan deso yang berarti “desa”. Kadeso merupakan simbol rasa syukur kepada Tuhan
atas hasil bumi yang diperoleh masyarakat Lemahireng tiap tahunnya. Tradisi ini
tidak hanya menunjukkan adanya ikatan antara masyarakat adat dengan lingkungan
alamnya melainkan juga merupakan wujud rasa terima kasih kepada Sang Pencipta.






Nyadran Punden Desa Lemahireng
Nyadran Punden
Nyadran merupakan tradisi Jawa yang terikat erat dengan penghormatan
kepada leluhur dan nenek moyang dan Punden adalah makam cikal bakal pendiri Desa
Lemahireng. Biasanya, nyadran punden Desa Lemahireng dilaksanakan pada “Sasi
Besar” menjelang bulan “Suro”. Tradisi ini memiliki akar budaya yang dalam, tradisi
nyadran merupakan perpaduan antara kepercayaan lokal dan ajaran Islam.
Mayoritas Masyarakat Desa Lemahireng masih memegang erat tradisi nyadran,
tradisi tersebut juga mengajarkan kedisiplinan dan kepedulian karena tradisi tersebut
dilaksankan setiap satu tahun sekali oleh masyarakat Desa Lemahireng. Makna tradisi
nyadran menurut Masyarakat desa lemahireng merupakan “Penghormatan kepada
Leluhur” Tradisi ini menunjukkan rasa hormat kepada Leluhur yang telah mendahului,
dan dianggap berjasa dalam kehidupan keturunan dan Desa Lemahireng khususnya.
Dalam Pelaksanaanya ketika waktu nyadran sudah tiba warga desa berbondong-
bondong datang ke punden dengan rasa penuh tanggung jawab membawa nasi bucu
dan sejenisnya sebagai sarana dan wujud rasa syukur sekaligus menumbuhkan rasa
kebersamaan karena nantinya nasi bucu yang dibawa setiap warga akan dibagi-bagikan
dan dimakan bersama seluruh warga yang dating. Dengan penuh kesederhanaan
makanan tadi dihidangkan di atas daun pisang dan dimakan bersama seluruh warga yang
hadir dalam kegiatan nyadran tersebut.



